Bidar Perahu Perang Dari Palembang
Bidar Palembang Menjaga Ingatan Sejarah Sriwijaya
Waktu terbaik untuk berkunjung ke Kota Palembang adalah sekitar minggu ke dua di bulan Agustus.Karena saat itu di kota Palembang mengadakan lomba Bidar. Dan sampai sekarang belum ada, event budaya yang menandingi ramainya penonton lomba Bidar 17an di Sungai Musi.
Legenda Lomba Bidar Palembang
Menurut
legenda yang diceritakan turun-temurun. Lomba Bidar bermula dari kisah cinta segi
tiga. Antara dua pemuda bernama
Dewa Jaya dan Kemala Negara dengan seorang gadis bernama Dayang Merindu.
Setelah
seri dalam pertandingan silat, kedua pemuda sepakat untuk melanjutkan kompetisi perebutan
Dayang Merindu dengan lomba Bidar. Yang menang berhak menikahi Dayang Merindu. Singkat cerita, karena
kelelahan mengayuh Bidar. kedua pemuda yang tengah dimabuk cinta itu akhirnya meninggal.
Dari sisi sejarah ada keyakinan
bahwa balap perahu serupa Bidar sudah
diadakan sejak
zaman Sriwijaya. Hal ini dasarkan topografi
Palembang yang didominasi rawa dan sungai yang mendukung pemanfaatan perahu
sebagai alat transportasi. Argumen diperkuat temuan arkeologi berupa perahu lesung dan prasasti
yang berkaitan dengan perahu.
Salah satunya adalah prasasti Kedukan
Bukit bertanggal 17 Juli 683 masehi. Isi
prasati mengabarkan Baginda Dapunta Hyang berlayar dengan perahu ke kawasan
wanua baru di tepian Sungai Musi. Pemukiman tepi sungai yang kemudian
berkembang menjadi Palembang. Ibu kota Sriwijaya Kerajaan Maritim terkuat di
nusantara.
Dokumentasi
tertulis dan foto penyelengaraan lomba bidar di Sungai Musi baru ada pada
masa kolonial Belanda (1825-1945 ). Pada zaman keresidenan Palembang lomba Bidar jadi annual event untuk merayakan
ulang tahun Ratu Wilhelmina.
Setelah Indonesia merdeka lomba Bidar tetap diselengarakan pada bulan Agustus.
Karena kebetulan Republik Indonesia juga lahir di bulan Agustus.
Tak heran dulu galangan perahu Bidar tersebar di seluruh Sumsel.Terutama wilayah yang dilintasi sungai-sungai besar dan dekat kawasan hutan penyedia bahan baku kayu. Ngomong-ngomong soal kayu sebagai bahan baku pembuatan Bidar. Kiranya ada perbedaan antara Bidar Kayu dan Bidar Papan.
Kayu dan papan sepertinya sama,tapi
dalam proses pembuatan Bidar keduanya berbeda. Bidar
kayu terbuat dari satu gelondong batang yang dilubangi tengahnya. Bentuknya
tidak sebagus Bidar papan, tapi Bidar
kayu sangat kuat.Bidar kayu atau sering juga
disebut perahu lesung sekarang sudah
tidak dibuat lagi di Sumatera Selatan.
Nah,Bidar besar (besak ) yang sekarang digunakan
untuk lomba bidar di Sungai Musi masuk kategori Bidar papan. Dibuat dari kayu
yang sudah berubah bentuk, menjadi papan, sento dan balok.
Sebagai perahu balap, Bidar besak punya spek yang mengesankan. Panjangnya 26 meter. Bagian terluas perahu lebarnya 137 cm.Tinggi perahu diukur dari bagian paling dalamnya adalah 70 cm.
Bidar Adalah Perahu Perang
Berbeda dengan narasi yang selama ini
yang menyebut bahwa Bidar adalah akronim
dari biduk lancar.Ternyata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bidar diartikan
sebagai perahu perang. Suatu
gelar yang tidak diberikan pada sembarang perahu.
Perahu perang adalah julukan yang
menandakan fungsi Bidar pada zaman
dahulu. Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam ada Bidar Pecalang. Mirip
bentuknya dengan Bidar besak tapi beda ukuran.
Pecalang digunakan sebagai perahu patroli
keamanan sungai dan kendaraan dinas
pejabat kesultanan. Panjangnya 18 meter dan dilengkapi atribut khusus. Atribut menunjukan jabatan
pemilik atau gugus tugas Pecalang tersebut.
Zaman now, Bidar sudah tidak lagi membawa pejabat atau prajurit menuju medan laga.Tapi perahu ini masih memiliki ciri perahu perang.
Bidar besak yang berlomba di Sungai Musi dapat memuat 58 awak perahu. Jumlah yang setara dengan 1
pleton tentara. Personel yang direkut masuk regu Bidar juga tidak
sembarangan.Harus memiliki kompetensi dibidangnya. Layaknya satuan militer,
pleton Bidar juga punya struktur organisasi dan rantai komando.
Formasi crew lomba bidar Palembang |
Pleton
Bidar terdiri dari, satu Juru Batu, satu
Juru Mudi, satu Tukang Penyimbur, satu Penabuh Gong, satu Tukang Timbo
dan 53 orang pendayung.
Tugas Juru Batu sebagai Komandan Pleton
(Danton). Juru
Batu berada di haluan mengamati lawan dan mengatur strategi. Bila
diperlukan Juru Batu memberi komando
dengan suara dan gerakan isyarat
menggunakan kain atau bendera.
Berikutnya ada Juru Mudi yang berjaga
di buritan Bidar. Tugasnya mengarahkan dan menjaga keseimbangan perahu saat
menerobos arus. Juru Mudi Bidar memegang satu dayung panjang yang fungsinya sebagai
pengendali arah haluan.
Ada cerita yang menarik. Konon, bila
sudah melewati 1/2 perjalanan dan Juru Batu merasa Bidar mereka tidak mungkin lagi
menang. Ia akan memberi kode rahasia pada Juru Mudi. Juru mudi akan melakukan ‘manuver’ yang membuat Bidar mereka terbalik.
Drama yang dibuat sebagai alasan tidak bisa melanjutan perlombaan sampai ke garis finish. Memang sudah jarang dimainkan, tapi drama ini pernah beberapa kali terlihat dalam lomba Bidar di Sungai Musi.
Selanjutnya, masih di buritan ada seorang Tukang Penyimbur. Simbur dalam
bahasa Palembang dapat berarti menyiramkan atau bermandikan. Tukang Penyimbur sangat
unik, yaitu menyiramkan air kepada para pengayuh. Tujuannya memberikan semangat dan mengurangi efek
buruk sengatan sinar matahari pada para
pengayuh.
Bergeser ke bagian tengah Bidar, ada dua
personel khusus.Tukang Timbo dan Penabuh Gong. Tukang timba atau dalam logat
Palembang disebut tukang timbo. Apa pula
tugas tukang timba dalam perahu?
Jadi gini, waktu seluruh pendayung gasspool mengayuh akan ada percikan air yang masuk ke dalam Bidar.
Bila dibiarkan dapat mengangu kosentrasi
pendayung dan membahayakan keselamatan pelayaran. Nah,tugasnya Kang Timbo
adalah mengeluarkan air dari dalam Bidar.
Agar
tidak mengangu kosentrasi dan ritme pendayung, Kang Timbo harus cermat
melihat saat yang tepat untuk menimba air. Kalau melihat alatnya, tugas Kang Timbo lebih tepat disebut menyerok dari
pada menimba air.
Personil lain yang ada dalam bidar
adalah Penabuh Gong. Penabuh atau tukang
pukul gong harusnya selalu ada dalam lomba
Bidar besak di Sungai Musi. Penabuh gong yang berdiri di tengah Bidar membawa
satu gong perunggu dengan diameter 35 cm.
Gong jadi alat penyebar informasi dalam lomba Bidar Palembang |
Selain untuk memacu semangat, suara
gong digunakan sebagai ‘penyambung lidah’ Juru Batu. Bila Juru Batu memberi komando agar pendayung mempercepat
kayuhanya. Penabuh gong akan memukul gong dengan cepat dan kencang pula.Saat
gong berhenti pertanda semua awak harus bersiap melakukan manuver penghentian
laju bidar.
Perbedaan Perahu Bidar Dan Perahu Naga
Ada sedikit cerita perihal minimnya
informasi tentang tata laksana dan kelengkapan dalam lomba Bidar di Sungai Musi.
Banyak konten creator juga wartawan media massa yang menyimpulkan Perahu Bidar sama dengan Perahu Naga. Kemudian mereka membuat narasi seputar Lomba Bidar di Sungai Musi, berdasarkan asumsi bahwa
Bidar sama dengan Perahu Naga.
Nyatanya Bidar dan Perahu Naga amat berbeda.Baik dari sejarah, bentuk,tata laksana dan perlengkapan yang digunakan. Dan yang paling sering tertukar dalam ilustrasi maupun narasi adalah Penabuh Gong dan Juru Batu. Penabuh Gong sering diganti dengan Penabuh Genderang Perahu Naga.Sedang Juru Batu disebut sebagai Juragan.
Alat dayung atau padle dalam perahu bidar Palembang |
Sebagai perahu tanpa layar tanpa mesin, Bidar hanya mengandalkan tenaga pendayung. Jadi,bisa dibilang pendayung adalah
inti dari pleton Bidar. Jumlah pendayung dalam satu Bidar Besak adalah 53 orang.
Syarat
menjadi pendayung Bidar yang pertama tentu saja harus terampil mendayung.
Walaupun jarak tempuh lomba bidar di
Sungai Musi hanya sekitar 2 kilometer. Tetapi tantangannya sama,dengan
mendayung perahu di tengah laut yang bergelombang. Sebab itu penting sekali memilih
pendayung, yang menguasai berbagi teknik
mengayuh.
Selain sehat jasmani dan rohani, berat
dan tinggi badan pendayung bidar juga
harus seimbang. Dua hal ini penting karena dapat mempengaruhi, berat dan kecepatan laju Bidar saat berlomba.
Senjata Organik Pengayuh Bidar
Seperti yang sudah kita obrolin di
atas, Bidar juga punya alat kelengkapan
yang menentukan keberhasilan misi mereka. Kalau tentara memiliki senjata
organik, maka senjata organic awak
perahu Bidar adalah dayung.
Alat pengayuh Bidar bisa disebut
organik, karena hanya berfungsi secara optimal jika digunakan untuk mendayung Bidar. Dayung Bidar terlalu ringan,terlalu
panjang atau terlalu lebar, sehingga tidak sangkil dan mangkus digunakan
mengayuh perahu jenis lain.
Ada tiga macam dayung yang digunakan
saat mengikuti lomba balap Bidar. 53 Dayung
penggerak yang digunakan para pengayuh Bidar.
Panjangnya 133 cm dengan lebar bagian daun
25 cm. Satu dayung khusus yang digunakan Juru Mudi. Dayung kemudi Bidar
memiliki ukuran panjangnya 189 cm dengan
lebar daun 40 cm. Terakhir ialah satu dayung penyimbur yang panjangnya 166 cm dengan lebar daun 35cm.
Ikon Kebanggaan Orang
Sekampung
Seumpama pasukan tentara yang akan
menjalankan misi. Sebelum turun berlomba anggota regu Bidar juga dibriefing dulu. Dalam musyawarah mereka mendiskusikan persiapan
alat, latihan bersama, dan kapan waktu yang baik untuk membawa bidar turun ke
sungai.
Melihat ukurannya tentu perahu ini
tidak bisa parkir sembarangan di sungai. Setelah pulang dari lomba, Bidar akan bawa naik ke darat. Diletakan di atas rak kayu
dalam sebuah gubuk yang memang dibuat sebagai
garasi perahu balap. Bidar beristirahat sampai perlombaan berikutnya.
Sebagai
ikon budaya dan kebanggaan komunitas, perlombaan Bidar jadi agenda penting di
kampung. Tua,muda,lelaki,perempuan terlibat dalam persiapan lomba.
Penuruan Bidar ke sungai termasuk
bagian penting dalam rangkaian persiapan mengikuti lomba. Diawali dengan doa
dan ritual adat, yang dihadiri pemuka masyarakat serta awak perahu. Kemudian
secara bersama-sama, Bidar diturunkan ke sungai.
Ada yang unik. Menurut tradisi turun-temurun
di Ogan Ilir, Bidar yang baru saja turun ke air tidak boleh langsung dinaiki. Bidar akan
dibiarkan bermain-main dulu dengan arus sebentar. Sedang anggota regu
akan menunggu di tepian.Setelah perahu tenang
dan menepi sendiri, barulah pendayung diizinkan
menaikinya.
Sehari menjelang lomba, Bidar akan
dikayuh menuju lokasi start di Sungai Musi. Pelayaran menuju Palembang menarik
perhatian masyarakat disepanjang perjalanan. Iring-iringan Bidar dan perahu
pendukungnya jadi parade promosi. Besok
lomba Bidar bidar akan berlangsung di Palembang. Ayo ramai-ramai kita nobar!
Tradisi nonton bareng lomba Bidar ada juga sejarahnya. Dulu, tiap kampung di tepian Sungai Musi memiliki setidaknya satu regu Bidar. Saat regu Bidar kampung mereka berlomba, seisi kampung akan datang nobar di tepi Sungai Musi.
Bidar, Nobar, Dan Kuliner Khas 17an
Meriahnya lomba Bidar memberi dampak ekonomi secara langsung bagi masyarakat. Keramaian yang berlangsung lebih lama dari durasi lomba,menjadi inspirasi lahirnya tradisi baru di Kota Palembang.
Jajanan tradisional
dan mainan khas 17an,yang cuma muncul di bulan Agustus. Salah satunya Telok abang, yang jadi the most wanted mainan anak di bulan
Agustus.
Telok abang adalah telur rebus yang kulitnya diberi pewarna merah. Telok abang
dijual satu paket, dengan miniatur pesawat atau kapal yang terbuat dari kayu
gabus.
Keberadaan Bidar tidak bisa dipisahkan dari perjalanan
sejarah dan perkembangan Kota Palembang.
Kristalisasi dari berbagai unsur sosial budaya yang mempengaruhi masyarakat
Palembang dari setiap masa.membuat Bidar unik
dalam tata laksana dan kelengkapan.
Keunikan yang kemudian menjadikan Lomba Bidar Palembang
pada tahun 2016 diakui, sebagai Warisan Budaya
Tak Benda Nasional (WTBN ) dengan
nomor registrasi 201600333.
Predikat Lomba Bidar sebagai warisan budaya tak benda
nasional memberi amanat bagi seluruh elemen masyarakat Sumatera Selatan untuk menjaga orisinalitasnya. Mempertahankan
keunikan Bidar dapat dimulai dari penyebaran informasi yang tervalidasi.
Penting untuk mengoreksi misinformasi yang
beredar seputar Bidar dan lomba bidar. Karena
dalam jangka panjang kutipan-kutipan
yang tidak jelas sumbernya akan mengakibatkan hilangnya ingatan public. Tentang
nilai historik dan heroik yang terkandung dalam Bidar.
Informasi yang benar akan sangat membantu menjaga memori kolektif masyarakat Sumatera Selatan
khususnya Palembang sebagai pewaris
tradisi maritim Sriwijaya.***
Referensi
- Peralatan Tradisional Kesenian dan Hiburan Daerah Sumatera Selatan
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan - Jakarta 1987
- Alat Angkutan Air Tradisional Di Sumatera Selatan
Dirjen Kebudayaan- Proyek Pembinaan Permuseuman Sumatera Selatan
Palembang 1991/1992